Baper : Ancaman Senyap terhadap Kohesi dan Produktivitas Organisasi, Ini Solusinya

Sekretaris Jenderal NHRI, Amir Hamzah, S.H., M.H.

OPINI-Istilah ‘baper’ atau bawa perasaan yang awalnya dianggap sebagai ungkapan ringan dalam kehidupan sehari-hari, kini mulai mendapat sorotan serius dari para ahli psikologi dan sosiologi serta praktisi HR.

Pasalnya, perilaku baper berlebihan dinilai membawa dampak negatif, baik terhadap hubungan sosial, lingkungan kerja, organisasi hingga kesehatan mental individu.

Bacaan Lainnya

Managing Partner Amir Hamzah Law, Amir Hamzah, mengatakan, fenomena baper berlebihan telah menjadi semacam ‘virus korporat’ yang tak kasat mata, namun efeknya nyata, bisa menurunkan moral, mengacaukan kolaborasi, dan memperlambat produktivitas.

“Dalam konteks profesional, baper berlebihan adalah ketika seseorang gagal ‘memasang filter HR’ dalam merespons situasi kantor. Ciri khasnya? Menganggap feedback sebagai personal attack, menyimpan ‘nota sakit hati’ lebih lama dari masa kadaluarsa kontrak kerja, atau merasa tatapan rekan satu tim adalah bentuk penghakiman, bukan kebetulan arah pandang,” kata Amir yang telah lama malang melintang di dunia HR.

Menurut Amir, masalah ini bukan sekadar emosional individual, melainkan risiko organisasi. Dunia kerja modern menuntut kecepatan, transparansi, dan komunikasi terbuka, tiga hal yang sulit tumbuh di ladang yang penuh perasaan sensitif.

“Feedback yang seharusnya membangun justru dihindari karena takut meledakkan perasaan,” kata praktisi hukum yang mengagumi sosok Adnan Buyung Nasution.

Amir kemudian membeberkan dampak negative baper berlebihan, di antaranya :

– Manajer menahan saran, rekan kerja memilih diam, dan meeting berubah jadi ‘panggung perasaan’.

– Keputusan tertunda, karena energi tim habis untuk meredam sensitivitas, bukan menyelesaikan masalah.

– Pesan netral disalahartikan: Email singkat dianggap dingin, emoji yang hilang dituduh sinis.

“Hasilnya, komunikasi jadi seperti menyeberang di jalan berlubang, semua melangkah pelan, takut salah injak,” kata Amir.

Amir melanjutkan, karyawan yang baper bukan tidak mampu, tetapi sering teralihkan. Energi mental tersedot untuk ‘mengelola luka kecil yang dibesarkan’. Ide bagus tersangkut di tenggorokan karena takut tidak disetujui. Konflik personal jadi tontonan serial tanpa akhir dan HR menjadi ‘sutradara ‘tidak resminya.

“Produktivitas pun anjlok, bukan karena kurang kapasitas, tapi karena kebanyakan kapasitas drama,” bebernya.

Efek lanjutan baper berlebihan adalah terciptanya budaya ‘jalan di atas kulit telur’, semua orang berhati-hati berlebihan, komunikasi menjadi formal dan hambar. Kepercayaan luntur, inovasi macet. Karyawan terbaik hengkang, bukan karena gaji, tetapi karena lelah berurusan dengan emosi yang tidak profesional. Organisasi perlahan berubah menjadi komunitas terapeutik, bukan tim kerja strategis.

Solusi atasi Baper

Amir lalu memberikan solusi agar baperan beralih menjadi berperan, di antaranya dengan berinvestasi pelatihan Emotional Intelligence (EI/EQ) jauh lebih murah daripada biaya turnover akibat drama internal. Fokus utama EQ membangun Kesadaran diri dengan mengenali pemicu emosi sebelum tersulut. Pengendalian diri, teknik jeda lima detik sebelum membalas chat yang bikin panas. Empati professional, memahami maksud rekan tanpa menaruh asumsi sinis.

“EQ bukan sekadar topik seminar, tapi skill survival di kantor modern,” ungkapnya.

Standar Komunikasi Asertif

Amir menyarankan mengunakan ‘kata yang sehat’ dalam feedback. Misalnya, “Saya mengamati hasilnya belum sesuai” lebih konstruktif daripada, “Kamu kok selalu gitu sih?.” Terapkan pedoman kritik berfokus pada kinerja, bukan karakter.

“Bahasa profesional tidak selalu harus dingin, ia cukup netral tapi berniat baik,” ujar Sekretaris Jenderal Nasional HR Institute (NHRI) ini.

Pemimpin yang reaktif menciptakan tim yang defensif. Sebaliknya, pemimpin yang tenang saat krisis mengajarkan stabilitas tanpa perlu seminar mindfulness. Selain itu :

– Tetapkan protokol konflik resmi agar perbedaan tidak berubah jadi gosip.

– Masukkan nilai EQ dalam penilaian kinerja dan promosi, karena “pintar saja” tanpa kendali emosi = bom waktu organisasi.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Baper berlebihan adalah gangguan kecil yang berpotensi besar. Ia bukan hanya mengganggu suasana, tetapi juga menurunkan kecepatan organisasi untuk tumbuh.
Untuk mengatasinya :

1. Bangun Budaya EQ. Pelatihan EQ harus jadi prioritas, bukan bonus.

2. Perjelas Batas Profesional. Bedakan antara rekan kerja dan rekan curhat.

3. Kuatkan Akuntabilitas. Emosi boleh, tapi tidak boleh jadi alasan untuk tidak profesional.

“Kantor yang sehat bukan kantor tanpa perasaan, tapi kantor yang tahu kapan harus pakai perasaan, dan kapan harus pakai pikiran,” kata Amir.

Atau dalam bahasa HR yang lebih jenaka.

“Sedikit baper itu manusiawi, tapi kalau setiap briefing bikin drama, itu sudah sinetron, bukan organisasi,” tutup Amir. (red).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *