Membaca Peluang Partai Islam di Pemilu 2024

Pengamat Politik, Gili Argenti.
Pengamat Politik, Gili Argenti.

OPINI-Pada bulan Desember 2022 Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan partai politik peserta Pemilu 2024, terdiri dari delapan belas partai nasional serta lima partai lokal.

Dari delapan belas partai nasional itu terdiri dari sembilan partai parlemen, yaitu PDI-P, Gerindra, Partai Golkar, PKB, Partai Nasdem, PKS, Partai Demokrat, PAN, dan PPP. Serta lima partai politik non parlemen diantaranya Partai Perindo, PSI, Partai Hanura, PBB, dan Partai Garuda.

Bacaan Lainnya

Di tambah empat partai politik baru Partai Gelora Indonesia, Partai Buruh, Partai Kebangkitan Nusantara, dan Partai Ummat.

Dari delapan belas partai politik peserta Pemilu 2024, terdapat enam partai Islam terdiri dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Ummat.

Definisi partai Islam sendiri memiliki dua konsep. Pertama, partai politik memiliki asas serta simbol-simbol Islam. Misalnya PKS, PPP, PBB, dan Partai Ummat. Kedua, partai politik tidak menggunakan asas Islam, tetapi mendapat dukungan dari ormas-ormas Islam, meskipun partai itu menggunakan asas pancasila. Misalnya PAN dan PKB.

Tentunya menarik ketika kita membicarakan peluang partai Islam di Pemilu 2024, pemilu keenam di era reformasi bersifat serentak nasional. Dari lima kali pelaksanaan pemilu pasca Orde Baru, tercatat perolehan suara partai-partai Islam mengalami stagnasi pada angka 30 persen.

Pemilu 1999 (36,8 persen), Pemilu 2004 (38,1 persen), Pemilu 2009 (29,16 persen.), Pemilu 2014 (31,2 persen), dan Pemilu 2019 (32 persen). Meski pada Pemilu 2019 menunjukan naiknya suara dua partai Islam, yaitu PKB dan PKS, kita juga melihat berkurangnya suara satu atau dua partai Islam lain. Artinya ceruk pemilih partai Islam itu sebenarnya tetap, mereka hanya bergeser pilihan ketika pemilu, dari satu partai Islam ke partai Islam lainnya.

Terdapat tiga analisa mengenai keterpurukan suara partai-partai Islam.

Pertama, masyarakat Indonesia semakin bergerak ke tengah secara pemahaman politik, mereka merupakan generasi baru telah terputus dengan konflik politik aliran, generasi baru ini hidup dalam atmosfer demokrasi, pemahaman mereka sudah kosmopolitan serta moderasi, jadi simbol dan jargon ideologis tidak begitu diminati.

Bagi mereka antara partai Islam dengan partai nasionalis tidak memiliki perbedaan subtansial, keduanya bahkan sulit dibedakan dari program politik di tawarkan kepada pemilih.

Terlebih partai-partai nasionalis memiliki sayap organisasi keumatan (Islam), seperti Baitul Muslimin milik PDI-P. Partai Demokrat memiliki Aliansi Nasional Religius (ANR), Aliansi Suara Rakyat (ASR), Badan Koordinasi Silaturahmi Ulama dan Umaroh (Bakosiru) dan Gerakan Pemuda Indonesia Satu (Garda Satu). Partai Golkar mempunyai Majelis Dakwah Islamiyah (MDI), dan Pengajian Al-Hidayah.

Kedua, meski partai Islam memiliki banyak figur tokoh atau pemimpin, popularitasnya hanya menjangkau komunitasnya saja, belum muncul sosok menjadi magnet elektoral secara nasional, mengakar serta diterima seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Ketiga, citra partai Islam kurang begitu baik dimata publik dengan munculya banyak konflik internal berujung perpecahan partai. Terlebih konflik serta faksionalisasi tersebut muncul, bukan disebabkan perbedaan orientasi ideologi, tetapi lebih perebutan posisi kepemimpinan partai serta perbedaan arah dukungan menjelang pilpres.

Menariknya di survei terakhir yang dilakukan Lembaga Survei dan Polling Indonesia (SPIN), pada tanggal 1-10 Desember 2022 di 34 provinsi Indonesia, menunjukan empat partai nasionalis masih memiliki tingkat elektabilitas tertinggi, yaitu PDIP 21,6 persen, Partai Gerindra 20,1 persen, Partai Demokrat 9,9 persen, dan Partai Golkar 9,7 persen.

Tentunya angka survei tersebut tidak statis, perkembangan politik itu bersifat dinamis, terlebih perhelatan Pemilu 2024 masih rentang setahun lagi, masih terdapat waktu bagi partai-partai Islam untuk meningkatkan tingkat elektabilitasnya, sehingga memperoleh hasil maksimal di Pemilu 2024.

Setidaknya terdapat beberapa langkah bisa dilakukan partai-partai Islam.

Pertama, mesin partai harus digerakan secara maksimal dari tingkat pusat sampai daerah, dengan melakukan aktifitas kaderisasi secara kontiyu dan solid.

Kedua, mempraksiskan program-program politik yang menjadi pusat perhatian masyarakat, artinya partai harus hadir ditengah-tengah masyarakat dalam menyelesaikan berbagai problem dirasakan serta dihadapi masyarakat, agar simpati publik mampu menaikan tingkat elektabilitas partai.

Ketiga, program partai harus bersifat subtansi menyasar isu-isu bersifat kerakyatan, karena basis pemilih Indonesia umumnya lebih menyukai program berdimensi subtansi-solutif dari pada narasi ideologis.

Keempat, memasang caleg legislatif dari pusat sampai daerah yang memiliki integritas, komitmen, dan popularitas tinggi. Tujuannya selain menarik suara signifikan, juga menempatkan orang tepat dilembaga legislatif.

Kelima, menentukan figur tepat dalam kontestasi capres-cawapres, agar partai-partai Islam mendapatkan efek ekor jas (coattail effect), terlebih menurut hasil survei terbaru Litbang Kompas partai politik harus berhati-hati menentukan pasangan capres-cawapres nanti, mengingat trend pemilih akan melabuhkan suaranya ke partai politik yang mengusung capres-cawapres sesuai dikehendaki konstituen partai. Jadi partai harus menyerap aspirasi secara holistik keinginan kader, konstituen, dan simpatisan agar berbanding lurus antara suara pemilihan presiden-wakil presiden dengan suara partai politik pengusungnya.

Tentunya kelima strategi itu harus dibersamai pemikiran Islam politik lebih ketengah dan inklusif. Dengan menawarkan paradigma Islam wasathiyah sebagai tawaran membangun demokrasi Indonesia. Disertai penguatan figuritas dari partai Islam agar memiliki tokoh tingkat elektabilitas tinggi, mengingat ketokohan ditengah-tengah masyarakat Indonesia masih menjadi faktor sangat menentukan dalam kontestasi elektoral.

Terakhir partai-partai Islam harus memiliki pemikiran politik genuine mengenai arah Indonesia kedepan, sebab politik menurut Abu al-Hasan al-Mawardi dalam karyanya berjudul Adabu ad-Dunya wa ad-Din, politik merupakan industri atau pabrik pemikiran. Artinya dunia politik itu menawarkan berbagai pemikiran serta gagasan untuk membangun bangsa di masa depan, dengan menggali konseptualisasi dari basis ideologi dimiliki, sudah saatnya wajah politik Indonesia dihiasi berbagai narasi dari Islam politik yang berisi pemikiran membangun, dialektis, dan kritis.

Sehingga masyarakat diajak berpikir secara rasional ketika menentukan pilihan-pilihan politiknya, dampaknya masyarakat akan semakin cerdas dan kritis. Karena mereka akan menentukan pilihan kepada partai menawarkan program politik di nilai rasional, serta mudah diaplikasikan di lapangan (red).

Penulis : Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA). Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (UNPAD).

 

 

 

 

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 Komentar