KARAWANG-Kekeringan yang melanda sejumlah desa di Kecamatan Pakisjaya kerap terjadi, sehingga menimbulkan persoalan krusial bagi para petani.
Seorang petani di Desa Solokan, Kecamatan Pakisjaya, yang juga pengurus Serikat Pekerja Tani Karawang (Sepetak), Miftahudin, memaparkan tiga penyebab kekeringan ekstrim areal persawahan di Kabupaten Karawang, khususnya di Kecamatan Pakisjaya.
Pertama, buruknya Jaringan irigasi. Kondisi irigasi yang jarang mendapat perhatian publik kondisinya sudah kian memburuk. Kondisi saluran terbuka irigasi ini diperparah dengan tumpukan sampah di banyak titik, sehingga akan sangat memengaruhi luas penampang basah, lebar dalam saluran, kedalaman air dan lebar permukaan air.
“Penurunan kualitas irigasi tersebut tentunya akan mempengaruhi kecepatan aliran rata-rata air menuju sawah sehingga derajat kehilangan air akan jauh lebih besar baik disebabkan oleh rembesan maupun faktor evaporasi,” kata Miftahudin kepada delik.co.id, Jumat (23/4/2021).
Kedua, kapitalisasi air. Kebijakan tata kelola air Jatiluhur berada di tangan perusahaan bernama Perum Jasa Tirta (PJT). Sebagai sebuah perusahaan, PJT dituntut untuk berperan mengakumulasi kapital. Saluran irigasi Kali Malang adalah cermin dari operasional bisnis sumber daya air.
Jaringan irigasi tersebut bisa diamati mulai dari Bendung Curug Klari sampai Jakarta pasokan airnya relatif stabil dan kualitas irigasinya lebih baik ketimbang saluran yang diorientasi untuk pertanian mulai dari Bendung Leuweung Seureuh sampai Pakisjaya.
“Sebab, sepanjang wilayah yang dilalui irigasi Kali Malang berderet Kawasan Industri yang menjadi konsumen PJT. Tak heran jika kemudian prioritas pasokan air lebih mengutamakan yang berorientasi profit,” ujarnya.
Ketiga, sistem tanam. Pemerintahan gagal mendorong kemajuan sistem pertanian teknis. Tata guna air bagi kepentingan pertanian sejak dahulu sudah memiliki pedoman acuan golongan air dengan lima golongan jadwal tanam.
Pada kenyataannya, dengan tanpa adanya kepastian jadwal tanam telah memicu semerawutnya tata guna air yang dipaksakan memasok areal persawahan sekurangnya di 12 golongan tanam.
Semerawutnya jadwal tanam juga karena faktor kebijakan Dirjen Tanaman Pangan mengenai tambahan luas Tanam sebanyak kurang lebih 30 ribu hektar kondisi ini tentunya menyebabkan pemborosan air sekurangnya 10 meter kubik per detik pada kecepatan debit air yang harus digelontorkan ke irigasi.
“Fenomena inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang turut mempercepat penyusutan air di Waduk Jatiluhur,” ungkapnya.
Miftahudin menyesalkan sikap PJT II dan Pemkab Karawang yang tidak serius menangani kekeringan setiap memasuki musim tanam gadu yang sudah berlangsung selama puluhan tahun.
“Jadi bila musim tanam gadu ini kami tidak bisa menanam, maka kami akan meminta pertanggungjawaban dari PJT II dan pemerintahan Cellica-Aep melalui aksi massa,” pungkas Miftahudin.
Diketahui, Waduk Jatiluhur merupakan waduk terbesar se-Asia Tenggara dengan daya tampung air sebesar 12,9 miliar m3/tahun. Meski daya tampung air demikian besarmya, tetapi para pemangku kebijakan sumber daya air tidak dapat mengoperasionalkan tata guna air secara efektif dan efisien.
Sehingga, hampir setiap tahun selalu tersiar kabar ribuan hektar sawah dilanda bencana kekeringan. (red).