KARAWANG-Putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, resmi ditunjuk jadi cawapres yang akan mendampingi Prabowo Subianto di kontestasi Pilpres 2024 mendatang.
Pengamat politik yang juga akademisi Unsika, Gili Argenti, M.Si., menilai terpilihnya Gibran menjadi cawapresnya Prabowo Subianto sudah diprediksi jauh-jauh hari. Gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia minimal menjadi capres-cawapres menjadi indikasi sinyal kuatnya arus dari elit untuk memasangkan Gibran dalam kontestasi elektoral di Februari 2024 nanti.
“Tentunya masuknya Gibran dalam persaingan politik memperebutkan posisi sebagai cawapres, mengundang tafsir banyak pihak dan itu sah-sah saja dalam iklim demokrasi,” ucap kandidat doktor ilmu politik Unpad ini kepada delik.co.id, Senin (23/10/2023).
Baca juga : KIM Putuskan Putra Sulung Jokowi Jadi Cawapres Prabowo
Tafsir pertama, bebernya, adanya politik dinasti, meskipun di negara demokrasi, termasuk yang sudah mapan tingkat demokrasinya, fenomena politik dinasti atau trah keluarga elit bukan hal baru, termasuk di negara Amerika Serikat dimana dinasti Kennedy, Clinton, dan Bush kerap mewarnai panggung politik di negeri Paman Sam itu, terlebih dalam sistem demokrasi terdapat aspek kesetaraan, siapapun dia dari latar belakang apapun, agama apapun, suku atau ras apapun, bisa menjadi penguasa asal dipilih oleh rakyat.
Baca juga : Jadi Cawapres Prabowo, Ini Profil Gibran
“Tetapi di Amerika Serikat memang politik dinasti diimbangi dengan kapasitas dan kemampuan sang politisi, sehingga mendapatkan kepercayaan dari pemilih,” ujarnya.
“Tentunya naiknya Gibran dalam kontestasi elektoral, persepsi adanya politik dinasti dari publik tak bisa dihilangkan, menjadi kewajaran publik membacanya, bahkan bisa menjadi senjata rival politik untuk membangun opini dan persepsi publik terkait adanya politik dinasti itu,” sambungnya.
Tafsir kedua, sambungnya, naiknya Gibran bisa dimaknai hadirnya politik muda, mengingat pasangan capres-cawapres yang ada, Gibran termasuk politisi berusia paling muda diantara yang lain. Momentum ini berbarengan dengan banyaknya pemilih muda pada Pemilu 2024, bahkan jumlahnya diprediksi mencapai 50 persen lebih.
Tetapi perlu diingat pemilih muda ini sangat kritis terhadap fenomena politik, mereka mempunyai kepekaan sangat tinggi dalam merespon isu-isu sensitif, menjadi tantangan tersendiri bagi pasangan capres-cawapres Prabowo-Gibran untuk mengambil ceruk dari pemilih muda.
“Tinggal kita menunggu respon dari PDI-P, mengingat partai ini, sudah menentukan pasangan capres-cawapres, yaitu Ganjar-Mahfud, dan Gibran adalah kader PDI-P. Saya membaca hal ini ada kemiripan dengan Pemilu 2004, ketika Jusuf Kalla merupakan kader Partai Golkar, berpasangan dengan Susilo Bambang Yudhoyono dari Partai Demokrat dan saat itu Partai Golkar mengusung pasangan capres-cawapres lain,” ulasnya.
Gili tidak menampik dengan tampilnya Gibran sebagai cawapres Prabowo sebagai salah satu indikasi atau sinyal ada komunikasi yang terganggu antara Ketum PDI-P Megawati dengan Presiden Jokowi selaku ayah Gibran.
“Komunikasi politik Megawati dengan Jokowi sepertinya terdapat masalah, dengan terpilihnya Gibran sebagai cawapres Prabowo, artinya terdapat perbedaan arah koalisi,” tutupnya. (red).
5