OPINI-Tiba tiba ingatan kembali pada masa silam, Socrates 469 SM- 399 SM berargumentasi, ilmu harus terintegrasi dalam perilaku kehidupan. Orang yang mengetahui kebaikan akan berbuat baik. Wawasan tentang kebenaran akan menuntun pada tindakan benar. Antitesa dari Socrates adalah munculnya kaum sofis.
Di republik kita akhir akhir ini, demo besar-besaran menjelang Pilkada Serentak terjadi di pelbagai kota. Pagar Senayan roboh, semprotan gas airmata dan drama penangkapan setelahnya. Masyarakat Indonesia yang bersifat power centered tiba-tiba kehilangan takzimnya pada kepala negara. Replika Joko Widodo digantung kemudian diinjak-injak. Istilah Mulyono, Raja Jawa menjadi nyinyiran trending di jagat maya. Bahkan sampai menyinggung bau ketek anak menantunya.
Akal-akalan aturan Negara, sistem peradilan dan perundang undangan memang memuakan. Jika hukum tak lagi tegak, peraturan tak lagi bertaji lalu kita berharap pada apa? Bukankah Tuhan pun menciptakan kemahaadilannya dengan hukumnya. Dalam kontek itu kemarahan massa rakyat dan mahasiswa itu menjadi maklum. Nyinyiran sadis itu juga bisa dimengerti.
Nun jauh dilumbung padinya Jawa Barat, Socrates mungkin akan termenung diam seribu bahasa. Dalam sebuah rapat komite sekolah, ibu muda bertank top terlihat gusar menyampaikan keluhannya mengenai iuran kas kelas, disusul suara berat bapak paruh baya yang mengeluh soal anaknya yang tidak mendapatkan kartu ujian karena belum membayar sumbangan biaya pendidikan.
Dengan lantang perempuan berhijab merujuk Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Mentri Pendidikan tentang Komite Sekolah mengenai definisi sumbangan yang harusnya tidak ditentukan jumlah maupun periode pembayarannya. Suara lantang itu disambut tepuk tangan yang meriah dari seisi ruangan rapat.
Ironisnya dengan senyum cenderung sinis, kepala sekolah menjawab, “Kalau tidak mau menyumbang ya tidak apa-apa, tadi yang tepuk tangan dan kasak-kusuk kalau tidak peduli ya silahkan”.
Kemudian seperti opera sabun yang tidak lucu sama sekali, panggung rapat dipimpin ketua komite, seraya mengeluarkan kesimpulan yang memukul Nurani, “ Semua pembicaraan yang panjang ini, muaranya adalah masalah UUD, Ujung Ujungnya Duit. Kekurangan biaya pendidikan pertahun sekian, dibagi jumlah siswa sekian maka persiswa pertahun sekian rupiah”. Undang undang Sisdiknas dan Peraturan Menteri Pendidikan tidak lagi diindahkan.
Republik jatuh pada ketidakpastian hukum. Dipusaran inti kekuasaan, mekanisme hukum dipermainkan untuk kepentingan oligarki bahkan kartel politik. Di level bawah yang langsung bersinggungan dengan kepentingan masyarakat, hukum dan undang undang tak lagi diindahkan. Hukum tak memiliki wibawa dihadapan lembaga yang semestinya menjadi benteng terakhir integritas moral yang harus tetap dijaga idealismenya.
Seperti kaum sofis pada era Socrates, mereka terdidik baik, berilmu dan berwawasan luas. Tetapi ilmunya, wawasannya tidak terintegrasi dalam perilaku kehidupan. Mereka berakrobat secara retoris, berdalih dengan fasih, untuk melegitimasi kepentingan pragmatis jangka pendeknya.
Kartel politik yang mempermainkan siatem hukum dan perundang undangan Negara tentu bukan orang awam yang berpendidikan rendah dan berwawasan sempit. Aparat Negara yang mengelola pendidikan negri tentu bukan orang yang berpendidikan rendah pula, mereka pandai memainkan retorika, menciptakan dalil-dalil hipokrit. Satu yang tidak mereka miliki adalah integritas moral.
Kita patut cemas dengan visi Indonesia emas tahun 2045 menjelang satu abad kemerdekaan Indonesia. Visi Indonesia Maju, Adil dan Makmur begitu terancam. Bonus demografi alih-alih menjadi anugerah, bisa menjadi kutukan bagi bangsa jika generasi yang dilahirkan adalah generasi yang gagal dididik untuk memiliki tanggung jawab sosial dan memiliki integritas moral yang baik, karena lahir dari lembaga pendidikan yang tidak memiliki integritas dalam prosesnya.
M.H Ainun Najib pernah berkata dalam orasi budayanya didepan guru besar UGM, sektor pendidikan harus tetap dijaga idealismenya. Tidak boleh terkontaminasi semangat industri dan kapitalisme. Pendidikan harus dijauhkan dari proses pembusukan sistemik, karena lembaga itu di design untuk menelurkan generasi bangsa pelaku sejarah yang akan datang.
Jika proses dilembaga itu tidak bermoral, tidak memiliki integritas, maka generasi macam apa yang kita harapkan akan lahir dari lembaga itu. Mimpi Indonesia emas patut kita kubur dalam dalam.
Dalam banyak sejarah tumbuh dan tenggelamnya peradaban bangsa, pendidikan memainkan peranan penting. Sejarah Renaissance, Aufklarung Eropa, Reformasi dan Modernisasi Asia Tengah serta Restorasi Meiji di Jepang menempatkan dunia pendidikan sebagai faktor pendorong paling penting. Bahkan nasionalisme di Indonesia yang mendorong lahirnya perjuangan kemerdekaan Indonesia di motori oleh generasi terdidik yang lahir dari berkembangnya lembaga pendidikan kolonial maupun bumi putera. Maka menjaga dunia pendidikan adalah menjaga masa depan.
Oleh : Direktur Ghazali Center, Lili Ghazali, S.Pd.