Sekolah Penyebab Anak-anak Gagal

Mang Asep Purwa.
Mang Asep Purwa.

OPINI-John Holt menulis sebuah buku yang berjudul “How Children Fail?” dalam bukunya Holt menjelaskan kurang lebih bahwa kegagalan anak-anak dalam belajar adalah karena sekolah.

Dalam bukunya Holt mengatakan bahwa sesungguhnya anak-anak cinta belajar tetapi benci diajari. Dalam kesempatan lain Holt mengatakan bahwa sekolah telah menyebabkan anak-anak takut, bosan, dan bingung. Benarkah demikian?

Bacaan Lainnya

Untuk menjawab itu tentu tidak mudah, benar atau salah? tetapi saya menduga bahwa relevansi sekolah sebagai lembaga pendidikan perlu terus dikritisi.

Sebagai seorang yang pernah puluhan tahun jadi guru, penulis menemukan bahwa anak-anak sebetulnya tidak suka sekolah, mereka terpaksa sekolah karena senang bermain dan banyak teman. Mungkin pengalaman ini bisa berbeda di antara kita?

Pendidikan itu ibarat benih dan lahan pertanian. Seorang guru adalah fasilitator dalam pembelajaran. Oleh karena itu guru harusnya lebih fokus menyiapkan ladang pertanian agar subur, cukup unsur hara, cukup air, dan mudah merawat tanamannya agar cepat tumbuh dan berkembang dibanding seperti petani yang mengintervensi bibit.

Dalam sistem pendidikan modern siswa diperlakukan sebagai subyek pendidikan yang dapat menentukan kebutuhan dan keinginan belajar yang sesuai dengan kebutuhan diri dan lingkungannya.

Jika kita gunakan analisis John Holt bahwa sekolah telah menciptakan rasa takut pada anak-anak, benarkah? Kebanyakan sekolah dan mungkin kebanyakan orang tua merasa senang jika anak-anaknya hapal dan ingat tentang materi pelajaran yang diberikan guru.

Bahkan menjadikan anak hapal materi menjadi tujuan. Contoh kasus anak-anak diberi soal tentang ukuran lapangan, tentang tahun sejarah perang, tentang nama-nama istilah tajwid dan lain-lain.

Tetapi pada kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari hapalan tersebut lupa dan tak terpakai. Sekolah dan guru memberikan penilaian pada siswa dengan menerapkan sistem rangking sehingga anak-anak berlomba untuk meraih rangking tertinggi dengan berbagai cara.

Anak-anak jadi takut untuk salah karena nanti dihujat. Padahal hemat penulis sesungguhnya sekolah adalah tempatnya salah jangan takut mencoba!

Daripada anak menjawab atau melakukan sesuatu yang langsung benar tapi jadi pembeo. Hingga menjadi karakter yang hanya meniru dan ikut-ikutan tidak berani mencoba dan tidak kreatif. Janganlah jadikan anak untuk takut gagal ujian,takut ditolak, takut dipermalukan yang pada akhirnya siswa belajar untuk menghindari rasa takut dan malu.

Analisa kedua siswa merasa bosan. Bagaimana tidak? siswa di sekolah dididik atas sesuatu yang berulang-ulang. Pembelajaran monoton, gurunya kurang kreatif, mereka belajar dibatasi kelas yang sempit dan tidak menarik jadinya siswa merasa bosan.

Terlebih apa yang mereka pelajari berbeda dengan kehidupan real yang mereka jalani, akhirnya mereka apriori acuh tak acuh dan ngak peduli.

Oleh karena itu pembelajaran di era kekinian harus memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada siswa agar mereka ceria dan semangat untuk belajar. Bukankah rasa bosan lawannya rasa cinta atau senang? Oleh karena itu guru harus tahu bagaimana caranya siswa mencintai materi pelajaran.

Yang ketiga adalah bingung. Siswa belajar di sekolah dengan beragam materi pelajaran yang begitu banyak sehingga siswa bingung dalam membagi mana yang penting bagi dirinya dan dibutuhkan bagi kehidupannya?. Padahal guru saja dibagi berdasarkan guru bidang studi masing-masing. Di pihak lain siswa belajar sesuatu yang kadang tidak sesuai dengan kehidupannya, tidak sesuai dengan kebutuhannya, tidak sesuai dengan potensi serta minat dan bakatnya.

Hal itu tentunya membingungkan siswa, yang pada akhirnya siswa cuek terhadap materi ajar dari sekolah dan melupakan minat dan bakatnya.

Plutarch mengatakan bahwa pikiran adalah api yang harus dinyalakan, bukan bejana yang harus diisi. Dalam sistem pendidikan nasional tujuan pendidikan adalah menjadikan manusia seutuhnya dan bukan menjadikan manusia partial. Sebagaimana sejarah lahirnya universitas yaitu menjadikan manusia universal. Yang tidak merasa benar dari persepsi sempit tentang kehidupan. Bagaimana dengan sekolah kita?

Dalam pandangan Plutarch, pikiran manusia bukanlah bejana atau celengan yang hanya menerima isi tapi menyalakan api. Sekolah sebagai lembaga pendidikan seharusnya bukan tempat yang terpisah bagi kehidupan siswa.
Sekolah itu adalah kehidupan itu sendiri. Secara natural manusia itu pada umumnya hanya dibekali dengan kemampuan hapalan yang terbatas dibanding mesin atau artificial intelligent.

Tetapi pikiran manusia memiliki daya kreasi yang tinggi dan luas. Dia bisa mendapatkan dan menemukan sesuatu yang tidak didapatkan dan ditemukan makhluk lain. Oleh karena itu sekolah harusnya memberi keleluasaan pada siswa agar dapat mengeksplorasi pikirannya secara luas dan bermakna.

Oleh karena itu agar sekolah tidak ketinggalan zaman maka sekolah seharusnya sudah memfokuskan pada keragaman intellegensi siswa (Multiple intelegent), personalized learning, disiplin positif, mengembangkan pembelajaran berbasis high order thinking skill, daya nalar, metakognisi, intuisi, imajinasi, dan belajar mandiri untuk mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah.

Terkait dengan keterampilan siswa, perlu dibekali dengan dasar-dasar keterampilan sesuai minat dan bakat agar memiliki keahlian di bidangnya dan menghasilkan karya terbaiknya. Yang pada akhirnya tercipta “Belajar Merdeka”.

Penulis : Srie Muldrianto (Mang Asep Purwa) , Dosen dan Aktivis Pendidikan di Purwakarta.

 

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar