Sekolah Dituding Tempat Anak Salah, Benarkah?

2
ILustrasi

OPINI-Mungkin kita pernah lihat seekor gajah yang diikat oleh tali yang tidak begitu kuat dibanding kekuatan gajah? Gajah tidak berani melepaskan diri dari ikatan itu, mengapa? Gajah biasanya sebelum ditampilkan di depan umum dilatih agar tenang dan aman bagi pengunjung.

Mungkin saja dulunya gajah tersebut pernah diikat oleh rantai yang sangat kokoh jadi kemudian gajah itu tidak melakukan perlawanan. Hal ini juga dapat terjadi pada anak kita, mereka tidak berani mencoba atau melakukan sesuatu karena memiliki pengalaman di masa lalunya yang menyebabkan anak takut atau tidak berani mencoba.

Padahal jika mereka sadari mereka memiliki potensi jauh yang lebih kuat dari belenggu yang sedang mereka hadapi. Belenggu tersebut dapat berupa dugaan, kebiasaan, ilusi, atau alam bawah sadar yang menekan mereka sehingga mereka selalu pesimis, membeo, dan mudah percaya pada apa yang menekan mereka seolah mereka tidak akan bisa melawan atau membebaskan diri.

Kalau dulu penilaian dilakukan hanya melihat hasil akhir tapi kini guru dituntut untuk memperhatikan proses, bagaimana anak mengerjakan? Keberanian anak untuk mencoba merupakan pembelajaran penting dalam lembaga pendidikan. Memang tidak ada cara yang tepat untuk semua anak tapi tanggungjawab guru merupakan faktor penting, keberhasilan anak.

Sekolah dan guru perlu memperhatikan ini. Pembelajaran terkait interaksi guru dengan anak melalui komunikasi dan kontak sosial. Feedback yang diberikan guru berdampak besar bagi perkembangan mental anak di masa depan. Makna feedback secara etimologis adalah memberi makan kembali artinya anak yang diberi makan diberi nutrisi dan energi baru agar dapat bergerak untuk maju. Seorang pendidik harus dapat menguasai teknik berkomunikasi yang baik dengan anak. Di era belajar merdeka, Kemendikbud telah merubah istilah ujian atau evaluasi menjadi assessment.

Tentu ini tidak hanya merubah istilah tapi ada makna lain yang lebih filosofis. Penilaian, evaluasi, atau ujian yang bersifat sumatif seperti seorang hakim yang memberi penilaian salah dan benar. Evaluasi, ujian dan penilaian menentukan seorang anak pada level dan tingkatan tertentu berupa nilai akhir.

Sementara assessment hanya berupa identifikasi level atau performa anak. Asesment diarahkan agar guru dapat mengenal apakah anak paham, tingkatan kepahaman, dan letak ketidak pahaman dan lain-lain.
Sehingga sejatinya penilaian yang dilakukan oleh guru tidak berdampak negative bagi perkembangan anak.

Misalnya anak akan dicap bodoh, tidak mampu, atau tidak mau mencoba, biarkan anak melakukan kesalahan di sekolah sebab melakukan kesalahan di sekolah dapat dikoreksi dengan benar dan baik oleh guru professional.

Bagaimana Feedback yang baik dari guru?

Feedback guru ke murid dapat berbeda satu sama lain. Oleh karena itu guru sebagai ujung tombak pendidikan di sekolah perlu memiliki keluasan dalam menilai anak agar terjadi interaksi yang positif. Bisa saja seorang anak diperlakukan dengan kasar malah berdampak positif. Tapi hal ini hanya kasuistik karena pada prinsipsinya seorang anak harus diperlakukan dengan baik yaitu sesuai dengan keunikan yang anak miliki. Teknik memberi feedback salah satunya adalah ladder of feedback atau tangga umpan balik.

Dalam teori displin positif (Jane Nelson) anak didorong untuk dibangun kesadarannya bukan karena ada kendali dari luar. Punish dan reward dapat mendorong anak untuk berbuat baik tapi ketika hukuman dan hadiah tidak ada, anak tidak terdorong lagi untuk berbuat baik. Jadi doronglah anak untuk berbuat baik karena itu memang baik.

Di samping itu hukuman dapat berdampak pada kebencian, pemberontakan, balas dendam seperti kasus balas dendam senior pada junior, dan menarik diri dari keadaan misalnya dengan mencari jalan agar tidak ketahuan.
Untuk membangun kesadaran anak biasakan anak ketika melakukan kesalahan diberi konsekuensi logis misalnya

ketika anak mengotori kelas maka konsekuensi logisnya membersihkan kelas. Sanksi yang diberikan harus berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan anak atau minta anak untuk membuat kesepakatan sanksi sendiri sehingga anak bertanggungjawab atas perbuatannya.

Memberikan sanksi dengan hukuman yang tidak terkait dapat menyebabkan anak benci pada hukuman itu, seperti anak melakukan kesalahan kemudian diberi hukuman untuk mengahapal Alquran alih-alih menyukai Alquran malah dapat membencinya.

Memberi dukungan bukan memberi hadiah. Memberi hadiah dapat memotivasi anak untuk berbuat baik tapi mungkin menjadi ketergantungan pada hadiah, sehingga jika tidak ada hadiah anak enggan melakukan kebaikan. Oleh karena itu dukungan untuk melakukan kebaikan adalah hal terbaik dan tidak selalu dengan hadiah.

Koneksi guru dan murid perlu dibangun dengan baik sebelum memberikan koreksi. Sebab ketika terjadi koneksi maka anak dengan senang hati akan merubah kesalahannya. Sebagai contoh biasanya di sekolah toilet guru dipisah dengan toilet siswa ini akan membangun gap antar guru dan siswa.

Jika guru bersih tentu siswa akan menyaksikannya, dan jika toilet kotor guru dapat memberi umpan balik. Guru jangan membuat koreksi jika sedang marah.

Di samping itu guru perlu membangun jati diri anak melalui pemahaman mengapa anak melakukan kesalahan? Bukan menghakimi. Menegur anak secara lembut tapi tegas juga merupakan strategi agar anak tidak dipermalukan di depan umum. Inti dari disiplin positif adalah bukan mengendalikan anak tapi anak dapat mengendalikan diri. Anak berbuat baik karena itu baik bukan hal lain.

Penulis : Srie Muldrianto, Dosen dan Aktivis Pendidikan di Purwakarta

 

2 thoughts on “Sekolah Dituding Tempat Anak Salah, Benarkah?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *